ADVERTORIALHEADLINEKutai TimurTERKINI

Bupati Kutim Minta Evaluasi Jam OPA, DPRD Sebut Pekerja Tambang Seperti Robot

Pemkab Kutim Fasilitasi Rapat Pengaduan Dugaan Pelanggaran Normatif Ketenagakerjaan PT PAMA Site KPC

Realitasindo.com – Rapat yang dipimpin langsung oleh Bupati Kutai Timur, Drs. H. Ardiansyah Sulaiman, M.Si, pada Kamis (13/11/2025), memunculkan desakan kuat agar manajemen PT. Pamapersada Nusantara (PAMA) melakukan evaluasi terhadap penerapan sistem jam OPA (Operator Performance Assistant). Penerapan sistem ini dituding oleh sejumlah pekerja dan serikat buruh sebagai bentuk pelanggaran hak normatif.

Rapat yang digelar di Ruang Arau, Kantor Bupati Kutim , Bukit Pelangi, itu berlangsung selama hampir dua jam, sejak pukul 14.08 hingga 15.51 WITA. Sekitar lima puluh orang hadir, terdiri atas unsur pemerintahan, DPRD, serikat pekerja, manajemen perusahaan, dan perwakilan pekerja.

Turut hadir dalam pertemuan itu di antaranya Ketua DPRD Kutim Jimmi, S.T., M.T, Kepala Dinas Transmigrasi dan Ketenagakerjaan Dr. Dra. Roma Malau, S.E., M.M, Ketua DPC PPMI Kutim Tabrani Yusuf, Ketua DPC FPBM-KASBI Bernadus Aholip Pong (Andre), Ketua DPC FSPKEP-KSPI Perdhana Putra, perwakilan manajemen PAMA Tri Rahmat Sholeh, serta Ketua Umum SP PAMA UKS KPCS Edy Nur Cahyono dan perwakilan pekerja Edi Purwanto.

Rapat dimulai dengan penjelasan Dinas Transmigrasi dan Ketenagakerjaan (Disnaker) yang menyampaikan dasar pengaduan tiga pekerja PT. PAMA, yakni Edi Purwanto, Heri Irawan, dan I Made Febri. Ketiganya melapor karena merasa dirugikan oleh kebijakan jam OPA yang tidak diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dan dinilai bertentangan dengan hak normatif tenaga kerja.

Dalam rapat tersebut, Edi Purwanto menjelaskan pengalamannya langsung. Ia mengaku kesulitan memenuhi standar tidur enam jam yang ditetapkan perusahaan, meskipun telah menjalani pengobatan. “Saya sudah menjalani perawatan, tapi tetap tidak bisa tidur enam jam sesuai ketentuan jam OPA,” ujarnya di hadapan Bupati dan peserta rapat.

Sementara itu, perwakilan dari berbagai serikat pekerja seperti PPMI, KASBI, dan FSPKEP-KSPI, menilai sistem jam OPA tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Mereka menyebut kebijakan itu telah memasuki ranah pelanggaran Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) serta hak privasi karyawan.

Menanggapi tudingan tersebut, perwakilan manajemen PT. PAMA, Tri Rahmat Sholeh, menegaskan bahwa sistem jam OPA diterapkan semata-mata demi keselamatan kerja. Ia menyebut tidak ada pelanggaran yang dilakukan perusahaan. “Jam OPA bukan pelanggaran, tetapi upaya menjaga keselamatan kerja. Pekerja tetap memiliki waktu istirahat yang cukup,” kata Tri.

Namun demikian, ia juga membenarkan bahwa perusahaan telah menjatuhkan Surat Peringatan (SP) 3 kepada pekerja terkait karena dinilai absen tanpa surat izin resmi. Hal inilah yang kemudian menuai protes dari serikat pekerja.

Bupati Kutim Ardiansyah Sulaiman menegaskan agar persoalan ini tidak diambil keputusannya secara tergesa-gesa. Ia meminta Dinas Transmigrasi dan Ketenagakerjaan (Distransker) melakukan penelusuran lebih dalam dan menyampaikan laporan resmi sebelum diputuskan langkah selanjutnya.

“Saya minta Disnaker menelusuri dengan cermat. Jangan ambil keputusan final sebelum laporan lengkap disampaikan ke saya,” tegas Ardiansyah.

Ardiansyah menilai, penyelesaian konflik hubungan industrial semacam ini harus mengutamakan asas keadilan dan keseimbangan antara kepentingan perusahaan dan pekerja.

Ketua DPRD Kutim Jimmi ikut menyoroti kebijakan jam OPA yang dianggapnya berlebihan. Ia menyebut penerapan sistem tersebut telah menjadikan pekerja seperti kehilangan sisi kemanusiaan. “Jam OPA ini membuat pekerja seperti setengah robot,” kata Jimmi dalam rapat itu.

Jimmi berujar, kebijakan semacam itu perlu dikaji ulang secara mendalam karena berpotensi mengekang kehidupan sosial pekerja. “Kita harus ingat, pekerja juga manusia yang punya kehidupan sosial di luar pekerjaan,” ujarnya.

Serikat pekerja secara bersama-sama mendesak agar SP3 terhadap Edi Purwanto dicabut, dan agar manajemen PAMA segera melakukan evaluasi total terhadap sistem jam OPA.

Ketua DPC FPBM-KASBI, Bernadus Aholip Pong, menyatakan bahwa sistem OPA harus dikaji dari perspektif hak asasi manusia. “Ini bukan sekadar masalah jam kerja, tapi sudah menyentuh hak dasar pekerja untuk beristirahat dan hidup layak,” ujarnya.

Senada dengan itu, Ketua DPC FSPKEP-KSPI, Perdhana Putra, menilai kebijakan jam OPA berpotensi melanggar prinsip-prinsip keselamatan dan kesehatan kerja (K3) sebagaimana diatur dalam undang-undang.(Adv/Pemkab Kutim/Ferdy).

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button