
Realitasindo.com – Tumbit Melayu, sebuah kampung di Kecamatan Teluk Bayur, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, mendadak geger. Lahan kelompok tani yang sejak lama mereka garap kini telah berubah wajah. Tanpa pemberitahuan resmi, tanpa musyawarah desa, kawasan itu kini menjadi lokasi tambang batu bara aktif milik PT Berau Coal.
Indikasi awal datang dari keganjilan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) milik perusahaan. Dari penelusuran yang dilakukan oleh sejumlah wartawan lokal, diketahui bahwa perusahaan tambang raksasa itu diduga hanya memiliki satu dokumen AMDAL untuk seluruh areal konsesinya—yang mencakup banyak desa dan kecamatan. Padahal, luas wilayah operasional Berau Coal seharusnya memerlukan studi AMDAL yang terperinci dan spesifik sesuai lokasi kegiatan.
Saat awak media mencoba mengonfirmasi hal tersebut ke Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Kabupaten Berau, tak satu pun pejabat terkait yang berhasil ditemui. Upaya menghubungi lewat sambungan seluler pun tak membuahkan hasil. Tak ayal, publik mulai bertanya-tanya, adakah sesuatu yang sengaja ditutupi?
Mantan Kepala Kampung Tumbit Melayu, Maspri, menjadi salah satu pihak yang bersuara lantang atas ketidakberesan ini. Ia menyayangkan proses AMDAL yang tidak melibatkan masyarakat.
“Semestinya PT Berau Coal membuat izin AMDAL secara rinci dengan melibatkan seluruh elemen tokoh-tokoh adat masyarakat di sekitar daerah yang akan ditambang guna mendengarkan aspirasi masyarakat di kawasan tambang, untuk memperhatikan dampak lingkungan dan kerugian materil/imaterial masyarakat setempat,” ujarnya.
Maspri menekankan pentingnya sosialisasi sebelum aktivitas tambang dimulai. Menurutnya, hal itu krusial untuk mencegah konflik.
“Paling tidak pihak PT Berau Coal terlebih dahulu melakukan sosialisasi sebelum melakukan kegiatan tambang untuk menjaga agar tidak terjadi konflik terhadap masyarakat yang terkena dampak tambang,” tambahnya.
Kekhawatiran itu kini telah menjadi kenyataan. Tanpa pemberitahuan resmi, alat berat perusahaan telah memasuki lahan tani milik warga. Kegiatan penambangan dimulai tanpa selembar pun surat izin yang diketahui pemerintah kampung.
Kepala Kampung Tumbit Melayu yang kini menjabat, Syamsudin, juga menyuarakan hal serupa.
“PT Berau Coal belum ada membuat izin AMDAL secara rinci dengan melibatkan seluruh elemen tokoh-tokoh adat masyarakat di sekitar daerah yang akan ditambang,” katanya.
Syamsudin juga menegaskan bahwa hingga kini masyarakat belum pernah menerima kompensasi atau pembebasan lahan. Banyak warga yang bergantung hidup dari lahan pertanian kini kehilangan akses dan penghasilan.
“Kini masyarakat setempat sudah terkena dampak dari tambang tersebut, termasuk lahan-lahan masyarakat yang sudah terbentuk dalam kelompok tani tempat warga mencari nafkah tidak pernah dibebaskan oleh pihak PT Berau Coal,” tandasnya.
Di tengah gonjang-ganjing ini, pihak PT Berau Coal belum memberikan klarifikasi resmi. Saat dikonfirmasi, Corporate Communication Superintendent PT Berau Coal, Rudini, belum bersedia memberikan tanggapan.
Situasi ini menyisakan banyak tanda tanya. Mengapa perusahaan sebesar PT Berau Coal bisa mengabaikan prosedur lingkungan dan komunikasi publik? Dan mengapa lembaga yang berwenang seperti KLHK belum bersuara? Investigasi lanjutan tampaknya menjadi satu-satunya jalan untuk mengungkap kebenaran di balik tambang yang menelan lahan warga Tumbit Melayu.(*)
Berita ini disarikan dari laporan jejakkhatulistiwa.go.id berjudul “Masyarakat Soroti Amdal PT Berau Coal, Diduga Satu Amdal untuk Semua Konsesi”