Tradisi Nyekar: Antara Doa dan Peruntungan di TPU Silva Duta

Realitasindo.com – Bermaaf-maafan menjadi salah satu bentuk perayaan sekaligus pengingat diri bahwa zahirnya manusia tak luput dari khilaf dan dosa. Tradisi ini seolah menjadi jembatan untuk mempererat tali persaudaraan, namun di balik itu ada juga tradisi lain yang tidak kalah penting—nyekar, ziarah ke makam sanak saudara.
Ziarah ini biasanya dilakukan sesudah Salat Ied, ada yang pagi, ada juga yang sore. Saban tahun, keluarga-keluarga akan datang mengunjungi makam orang-orang tercinta, mengirim doa untuk keselamatan mereka yang telah mendahului. Tak hanya itu, ada makna yang lebih mendalam, bahwa tradisi ini juga mengingatkan kita tentang kepastian ajal yang akan menjemput setiap insan. Sehingga setiap langkah dalam hidup ini menjadi lebih berarti, seiring dengan amalan kebajikan yang kita lakukan sebagai bekal menuju akhirat.
Ternyata, tradisi nyekar ini bukan hanya soal mengenang dan mendoakan. Berdasarkan beberapa literatur, tradisi ini diperkenalkan oleh Wali Songo, tokoh-tokoh penyebar Islam di Pulau Jawa pada abad ke-14. Kebiasaan yang sudah berlangsung sejak zaman Hindu-Buddha ini, kemudian diadaptasi sesuai dengan ajaran Islam. Seiring berjalannya waktu, tradisi ini diterima dan dilestarikan hingga menjadi budaya yang tak terpisahkan.
Di Kutai Timur, tradisi ziarah makin ramai menjelang Ramadan dan saat Idulfitri. Namun, ada hal menarik yang berkembang, di mana kunjungan ke makam sering kali bukan hanya sebagai bentuk pengingat atau doa, tetapi juga sebagai ajang mencari peruntungan. Di beberapa tempat pemakaman umum (TPU), seperti di kawasan TPU Silva Duta Sangatta Selatan, sejumlah profesi baru muncul.
Beberapa di antaranya adalah pedagang bunga kubur, pembaca doa, dan tukang bersih makam. Semua berusaha menyemarakkan suasana, memberikan sesuatu lebih untuk para peziarah.
Hari kedua setelah Idulfitri, Rabu (2/4/2025), matahari bersinar terik. Suhu yang tercatat oleh BMKG mencapai sekitar 35 derajat Celcius, membuat udara terasa panas menyengat. Namun, itu tak mengurangi semangat para pedagang di TPU Silva Duta Sangatta Selatan. Meski terik, mereka tetap dengan setia menjalani aktivitas di tengah panasnya matahari.
Salah satunya, seorang ibu yang mengenakan daster oranye, duduk santai di bawah pondokan jualannya. Di tangannya, ia memotong daun pandan dengan teliti. Pondok kecilnya terbuat dari seng, dengan dinding yang juga terbuat dari material serupa. Di depannya, sebuah meja papan diletakkan dengan rapi, memajang kresek-kresek berisi bunga-bunga kertas (bugenvil) dan daun pandan yang sudah dipotong kecil-kecil. Tak lupa, ada juga botol-botol plastik berisi air.
“Satu kresek bunga dijual Rp 10.000, air lima ribu,” ujarnya kepada seorang peziarah yang baru saja membeli dagangannya.
Tentu saja, jualan ini bukan sekadar soal mendapatkan keuntungan. Ada nilai lebih yang terkandung dalam setiap bunga yang dijual, doa yang mengiringi setiap langkah para peziarah, serta harapan yang disampaikan kepada keluarga yang telah meninggal. Di sinilah, di tengah hiruk-pikuk tradisi yang terus terjaga, manusia kembali diingatkan untuk hidup dengan penuh makna, tidak sekadar untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain yang telah lebih dulu meninggalkan dunia ini.(*)