
Realitasindo.com – Di tengah gencarnya upaya diversifikasi ekonomi, Kabupaten Kutai Timur (Kutim) bersiap menyusun peta jalan industri yang lebih berkelanjutan. Sebuah Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Pembangunan Industri 2025-2044 tengah digodok oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, dengan harapan menjadi tonggak penting bagi pertumbuhan ekonomi berbasis potensi lokal.
Bagi daerah ini, yang selama ini bergantung pada sektor ekstraktif seperti pertambangan, peralihan menuju industri yang lebih mandiri bukanlah perkara mudah. Namun, di balik tantangan itu, ada semangat besar untuk menciptakan ekosistem industri yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga inklusif dan ramah lingkungan.
Rapat Paripurna ke-31 yang berlangsung di Ruang Sidang Utama DPRD Kutim, Rabu (5/3/2025), menjadi saksi bagaimana gagasan besar ini mulai dibahas secara serius. Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Setkab Kutim, Zubair, menyampaikan tanggapan pemerintah terhadap pandangan umum fraksi-fraksi DPRD terkait Raperda ini.
Dari berbagai pandangan yang muncul, ada satu benang merah yang menghubungkan semuanya: kebutuhan akan pembangunan industri yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memberikan dampak nyata bagi masyarakat.
“Pada prinsipnya, Partai Keadilan Sejahtera sependapat dengan pandangan Pemerintah Daerah bahwa raperda ini merupakan langkah strategis dalam meningkatkan perekonomian daerah,” ujar Zubair menanggapi Fraksi PKS.
Sementara itu, Fraksi Golkar menekankan pentingnya kejelasan prioritas sektor industri, dukungan bagi UMKM, serta penguatan infrastruktur dan konektivitas. “Kami ingin memastikan bahwa pembahasan raperda ini nantinya benar-benar mempertajam isu-isu penting seperti kesiapan SDM dan keberlanjutan lingkungan,” tambahnya.
Bagi Fraksi Demokrat, raperda ini menjadi kunci bagi penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah. Namun, mereka juga mengingatkan agar pemerintah tidak hanya fokus pada pembangunan industri berskala besar, tetapi juga memperhatikan penguatan industri kecil dan menengah.
“Kita butuh regulasi yang tidak hanya menarik investasi, tetapi juga memberdayakan pelaku usaha lokal. Hilirisasi, penguatan IKM, dan diversifikasi ekonomi berbasis potensi daerah harus menjadi bagian dari kebijakan ini,” tegas Fraksi Gelora Amanat Perjuangan.
Dari berbagai tanggapan yang muncul, satu hal yang menjadi kesepakatan bersama adalah bahwa raperda ini harus lebih dari sekadar dokumen hukum—ia harus menjadi peta jalan yang konkret bagi pembangunan industri Kutim di masa depan.
“Raperda ini bertujuan untuk menentukan sasaran, strategi, dan rencana aksi pembangunan industri unggulan kabupaten. Dengan demikian, kita bisa lebih awal mempersiapkan SDM dan infrastruktur yang diperlukan,” jelas Zubair.
Namun, tantangan terbesar bukan hanya pada penyusunan regulasi, melainkan bagaimana raperda ini akan diterapkan di lapangan. Bagaimana industri hilir dapat tumbuh di tengah keterbatasan infrastruktur? Bagaimana memastikan keberlanjutan lingkungan tetap terjaga di tengah ekspansi industri?
Di luar ruang sidang, semangat untuk membangun industri Kutim yang lebih tangguh terus menyala. Bagi banyak pelaku usaha lokal, raperda ini membawa harapan baru. Para petani sawit, misalnya, berharap kebijakan ini bisa mempercepat pengembangan industri hilir yang memberikan nilai tambah bagi produk mereka.
Sementara itu, para pelaku UMKM berharap ada kebijakan yang benar-benar berpihak pada mereka, bukan sekadar regulasi tanpa implementasi yang nyata. “Kami ingin melihat program konkret, bukan hanya janji di atas kertas,” ujar seorang pelaku usaha kecil di Sangatta.
Pada akhirnya, pembangunan industri di Kutim bukan hanya tentang angka pertumbuhan ekonomi atau investasi yang masuk. Ia adalah tentang bagaimana kebijakan ini bisa membawa perubahan nyata bagi masyarakat—menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan, dan memastikan bahwa kemajuan yang dicapai tetap berkelanjutan untuk generasi mendatang.
Kini, bola ada di tangan pemerintah dan DPRD Kutim. Akankah raperda ini menjadi langkah nyata menuju kemandirian industri? Ataukah hanya menjadi dokumen yang tersimpan di arsip tanpa dampak berarti? Waktu yang akan menjawabnya.(*)